Beda YouTube dan Televisi Kita

Beberapa bulan belakangan ini muncul fenomena yang aneh di televisi-televisi swasta kita: rame-rame membikin acara yang tak lain berupa kompilasi video yang dicomot dari YouTube dan dibikin paket tayangan tematik, misalnya "5 Binatang Berkaki Empat yang Paling Menggairahkan" atau "10 Pelawak Paling Jayus di Dunia" ..

Saya bayangkan betapa menguntungkannya bisnis yang satu ini: tak perlu meng-hire atau mempekerjakan videografer profesional karena semua materi tinggal unduh dari situs berbagi video itu. Yang dibutuhkan hanya sedikit kreativitas dalam memilah video-video sesuai tema yang hendak ditayangkan, membuat script narasi yang 'heboh', lalu mencari pemasang iklan. Dan Voila! Jadilah acara berdurasi 30 menit di waktu tayang utama (prime time)!
Logo YouTube

Apakah pihak TV meminta izin dan membayar royalti atau hak tayang atas materi video yang mereka pinjam ke YouTube? Saya tidak tahu. Namun dengan melihat trend yang ada, sepertinya mereka meraup laba yang lumayan besar terlepas apakah mereka membayar royalti atau tidak.

Sekarang kita tengok YouTube. Situs berbagi video milik Google ini sejatinya bukanlah pemilik atau pemegang hak cipta atas video-video yang ada pada mereka. YouTube hanya media yang menyimpan dan menayangkan secara streaming video-video tersebut. Pemilik video-video tersebut adalah para user yang mengunggahnya.

Berangkat dari posisinya sebagai situs penyedia fasilitas berbagi video (video sharing), kalau mau pihak YouTube dapat saja meraup semua keuntungan iklan buat dirinya sendiri. Toh user mengunggah video secara sukarela dan gratis.

Namun inilah yang membedakan YouTube dengan bisnis "kotor" stasiun televisi: mereka mau membagi keuntungan dari pendapatan iklan dengan para publisher video. Publisher video kini berkesempatan memperoleh persentase pendapatan dari iklan-iklan yang tayang saat video mereka ditonton orang. Nilainya untuk sekali tayang mungkin tidak besar, namun pasti signifikan apabila video tersebut diakses ribuan (atau jutaan) orang.

Ke depan, skema bisnis berbasis kreativitas ala YouTube mungkin akan makin diminati pekerja kreatif dan orang-orang profesional. Mereka lebih suka mempublish karya video mereka ke YouTube daripada menunggu keberuntungan yang tak jelas untuk menembus TV. Menulis di blog atau menerbitkan buku sendiri untuk dipasarkan secara independen via media sosial ketimbang berurusan dengan editor koran atau penerbit yang ribet dan bertele-tele.

Zaman sudah berubah. Dahulu media mainstream menjadi trend setter. Menentukan siapa yang populer dan siapa yang tenggelam. Memonopoli informasi. Kini mereka - barangkali dengan terpaksa - mengikuti trend yang terjadi di dunia maya. Mengutip tweet yang lagi hot. Mengunduh video yang lagi populer. Agar tetap bertahan.

Komentar